Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 28



Bab 28 Kezia dan Arya sama pentingnya bagi Harvey dan Selena.

“Aku akui bahwa mungkin dia adalah ayah yang baik, tapi dia jelas bukan orang baik. Di balik penampilannya yang munafik itu, ada hati iblis yang tersembunyi. Seli, karena semuanya sudah begini, aku nggak akan menyembunyikannya lagi darimu.”

Harvey berlutut dengan satu kaki, memegang pipi Selena dengan kedua tangannya, dan senyuman pucat terlihat di wajahnya.

“Dulu, aku menganggapmu sebagai hidupku dan sangat mencintaimu hingga terobsesi, tapi karena kamu adalah satu-satunya putri Arya, cintaku padamu sekarang berubah menjadi kebencian.” @This is property © of NôvelDrama.Org.

Meskipun Harvey tersenyum, Selena merasakan suasana yang mencekam.

“Hari itu, saat aku dan Agatha jatuh ke air, apakah kamu sengaja menyelamatkannya terlebih dahulu? Apakah kamu ingin balas dendam?”

“Ya, aku ingin balas dendam.”

Sembari meraih kerah baju Harvey dengan kedua tangan, air mata jatuh di pipi Selena, “Apakah kamu gila? Dia itu anak kita! Dia belum melihat dunia ini, apa salahnya? Dia nggak bersalah!”

“Lalu apa kesalahan adikku? Bukankah anaknya juga nggak bersalah?” ucap Harvey sambil memiringkan kepala dan tersenyum licik.

Selena menatap Harvey yang menjadi suram. Topik ini tidak akan ada ujungnya.

“Harvey, aku memahami rasa sakit karena kehilangan adikmu ...

“Kamu nggak mengerti! Di dunia ini, siapa yang benar—benar bisa merasakan apa yang aku rasakan? Adikku lahir prematur, dari kecil tubuhnya sudah lemah dan memiliki penyakit jantung. Dia itu harta berharga keluarga kami, tapi kematiannya begitu tragis! Gadis kecil yang sangat menyukai kecantikan sepertinya, bahkan akan merasa sedih untuk waktu yang lama jika aku menginjak jepit rambutnya, tetapi pada akhirnya dia meninggal dengan cara yang nggak pantas,” ujar Harvey dengan tegas dan ekspresinya tiba—tiba berubah.

Harvey perlahan mengulurkan tangannya dan membelai pipi Selena dengan lembut, “Kamu nggak akan pernah tahu bagaimana perasaanku saat mengidentifikasi mayatnya, dan keputusasaan yang aku rasakan saat aku membuka kain putih itu. Lebih baik aku nggak bertemu dengannya daripada dia meninggalkan dunia ini untuk selamanya,” jelasnya.

Selena tidak bisa berkata—kata, bahkan meminta maaf pun akan terdengar seperti sebuah penghinaan bagi almarhum. Dia juga mengerti mengapa Harvey begitu emosional selama itu dan mengapa Harvey menatapnya dengan tatapan seperti itu. Untuk membuktikan bahwa itu bukan Arya, dia pasti melakukan banyak upaya.

Barang bukti yang mengerikan ini seolah menjadi bukti bahwa dia pernah mencintainya. Dia berusaha membersihkan nama baik Arya, tetapi kenyataannya semakin banyak bukti yang muncul, yang semakin menjauhkan keduanya.

Dia berjuang, tetapi pada akhirnya tidak bisa melewati gejolak di hatinya dan memilih untuk hidup damai bersamanya. Sekalipun orang itu sudah meninggal, dia akan tetap membalaskan dendam Lanny.

Dengan berlutut di lantai sambil menarik kerah bajunya erat-erat, Selena menyandarkan kepala di dahi Harvey dan berkata, “Hanhan, saat itu kamu pasti sangat menderita. Keluarga Bennett bangkrut, aku kehilangan anakku, sementara Ayahku koma di rumah sakit. Bagaimana kalau kita berhenti menyiksa satu sama lain?”

Panggilan yang sudah lama tidak terdengar ini membuat sekujur tubuh Harvey gemetaran, dan saat ini emosi meluap di dalam hatinya, namun Selena tidak tahu apa yang dipikirkannya.

Dengan cemas dan gelisah, Selena menunggu hasilnya. Dia tidak ingin Harvey terus menderita setiap hari. Bisakah mereka berdamai?

Setelah beberapa saat, Harvey perlahan mendongak, dan ujung matanya agak memerah karena menahan air mata. Ujung jari yang kasar membelai pipinya dengan lembut, dan bulu matanya yang halus menutupi matanya yang memerah. @

“Seli, kamu saja yang mengembalikan hutang Ayahmu padaku,” ucapnya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.