Bab 56
Bab 56
Bab 56
Wajalı Samara lelap datar tidak berekspresi
“Tidak ada yang perlu dijelaskan, menjelaskan tentang medis pada orang wall hanya membuatny-buang waktu
Tatapannya yang dingin menyupu sema onun lalu dengan lemang berjalan ke samping: lirman dari mulai menyimpan jarum.
Akupunktur adalah warisan bertanya dan kakeknyal,
In ini terbuchun bu meteor kung
Kandungan batu meteoritu sangat spesial, terdapat kandungan logam yang tidak dikenal selinya sangat berharga.
Setiap batang jarum akupunktur ini adalah harta tak ternilai baltya
“Pak polisi, tangkap wanita ini, dia adalalı pembumuliyalı siya!”
“Jarum itu adalalı senjatanya, kita adalali saksimalayali vya dicelakai olehnya. Saya ingin dia membayar dengan nyawa!”
Dua bersaudara Willis dan Waison merebut posisi tampuk kekusan keluarga Gandhi dengan sengit, tetapi ketika menghadapi Saman, mereka yang kompak.
Saat ini, Samara sudah selesai memberikan jatum akupunkturnya yang terakhir, lalu melirik saya kedua orang ini yang mengesalkan itu.
“Siapa yang bilang bahwa pak tua sudah meninggal?”
Willis berjalan maju beberapa langkah, langannya yang memegang Cerutu menunjuk Samara: “Ayahku memuntalkan begitu banyak darah, masih tidak mati? Masih ingin berbantah, saya lihat kamu ini tidak lakui sebelum kematian tiba.”
Sudut bibir Samana terangkat mengejek
“Ya.”
Tetapi ketika polisi bersiap membekuknya, firman yang tadinya muntah darah tak henti-henti, menjadi batuk kecil.
“Uhuk uhuk—-
Suaranya ringan dan rendah, tetapi bagi mereka terdengar seperti suara guntur
Pupil mata Jonas mengerut, dengan mata tak percaya memandang Firman: “Kakek, kamu…baik baik saja?”
Firman bersusah payah menegakkan tubuhnya untuk duduk, lalu mengusap noda darah di sudut mulut, suaranya lemah tetapi tegas: “Siapa yang berani…menangkap penolongku?”
“Penolong?
Dua pasang suami istri Willis dan Watson terbengong, tapi dengan cepat tersadar.
Dengan lancar Watson berkata: “Ayah, tadi kamu tidak sadarkan diri mungkin tidak jelas dengan apa yang barusan terjadi, saya jelaskan padamu, wanita ini adalah dokter tak jelas yang diundang Jonas, tadi dia sembarang menusukkan jarum padamu, menyebabkan kamu memuntahkan banyak darah. Jika tidak percaya coba lihat, genangan darah ini semuanya adalah darah yang tadi dimuntahkan olehmu.”
Samara tidak dapat menahan diri untuk memutar bola matanya.
Kedua putra Firman ini sampai sekarang masih berniat memfitnalinya?
Apalah mereka mengira dia idiot, atau otak Firman yang bermasalah?
Firman berkata pelan kepada Jonas yang disampingnya: “Berikan saya sebuah cangkir teh.”
“Ini, kakek—”
Firman mengambil cangkir tersebut, tidak meminumnya, sebaliknya melemparkan cangkir itu ke arah Watson yang berdandan kampungan.
Lemparan ini—
Tenaga firman tidak kuat tapi dengan tepat sasaran, membentur dahi Watson.
“Ayah, apa maksudmu ini?” Watson berseru marah: “Mengapa kamu melempar cangkir ke kepalaku?”
Dengan malas berat l’irman berkata: “Saya hanya tidak sadarkan diri, bukan mati, saya tahu jelas bagaimana saya bisa siuman? Jangan memutar balik fakta.”
Ucapan firman berhasil membungkamkan mulut Willis dan Watson.
Mereka mengira kali ini limman memuntahkan darah yang begitu banyak pasti tidak tertolong lagi, tidak disangka l’imman bisa membaik secar ajaib.
Sayang!
Sayang sekali Content © copyrighted by NôvelDrama.Org.
Firman masih berstatus kepala keluarga, asalkan dia masih hidup, dia tetap memiliki kewibawaan.
Meskipun di dalam hati mereka masing-masing memiliki ide sendiri, tapi di depan Firman, tidak ada yang berani membantah sedikitpun.
Firman siuman, kedua putranya dan menantunya kembali berpura-pura berebut ingin merawatnya.
Firman mencengkeram erat selimutnya, mata tuanya menajam dan berkata: “Kalian semua keluar, Jonas tetap disini, penolongku tetap disini.”
Begitu Pak Tua mengumumkan, keributan itu langsung berakhir, tidak ada yang berani membantah
Sampai akhirnya di dalam kamar ini hanya tersisa Firman, Jonas dan Samara.
Samara menghela nafas lega: “Pak Tua, jika kamu agak telat siuman, mungkin saya sudah dibawa ke kantor polisi.”
“Untung saja keburu.” Firman menghela nafas: “Meskipun kamu telah menyelamatkanku, tapi saya masih belum tahu namamu.”
Mata Samara berputar ringan, tersenyum simpul.
“Samgra.”
“Samara, nama yang indah.” Firman mengangguk ringan: “Nyawaku itu diselamatkan olehmu. kebaikan ini, saya dan anak-cucuku akan selalu ingat di hati.”
Samara teringat kedua putra dan menantu Firman yang aneh, lalu melirik Jonas yang tadinya ingin mengoyaknya, lalu melambaikan tangan.
“Kamu saja yang mengingat kebaikanku… kalau anak cucu Anda, sudahlah!”